Puisi

Puisi

  • November 15, 2018
  • By Admin: mrbauld
  • Comments: Comments off

Puisi

“Menyatukan bunga hyacinth dan biskuit”, “pikiran yang musikal”, “yang tak terucapkan akhirnya terucap”—cara mendefinisikan puisi seolah tak terbatas, dan tak pernah benar-benar tuntas. Inilah inti terdalam dari dunia sastra. Yang memukau kita bukan hanya arti kata-kata, tetapi bagaimana kata-kata itu berbunyi, bergerak, dan mengarah ke makna. Rasa yang muncul dari puisi tidak mudah dijelaskan; justru ketidakjelasan itu yang membedakan puisi dari bentuk-bentuk emosi dangkal seperti yang sering kita temui di televisi atau novel ringan, dan itulah yang membuat kita lebih manusiawi. Dalam puisi, kita bisa menemukan kembali keyakinan dan makna hidup—jika kita membacanya dengan sepenuh perhatian.

Ada orang yang berusaha memaksa puisi menjadi alat propaganda, namun meski trik ini mungkin berhasil dalam novel atau drama, puisi tidak bisa begitu saja ditundukkan. Kritik sosial yang disusun dengan rapi bukanlah puisi. Jika puisi membahas isu sosial, kekuatan sejatinya tetap terletak pada lapisan terdalam dari pengalaman manusia itu sendiri. Puisi adalah “yang sesungguhnya”, bisa “mengguncang pikiranmu”, “tempat segalanya terjadi”, “memanggilmu”, membimbingmu “melewati jalan sunyi”, dan membuatmu sadar bahwa “kau tidak sendiri”.

Auden pernah membedakan antara penyair yang sibuk menyampaikan “ide” dengan penyair sejati yang “jatuh cinta pada kata-kata.” Di ruang kelas, kita juga melihat dua tipe murid: yang hanya membaca puisinya sendiri, dan yang rajin membaca puisi orang lain. Northrop Frye pernah berkata, salah satu alasan untuk menulis puisi adalah agar kita sadar betapa sulitnya menulis puisi yang benar-benar baik. Kesadaran ini, dan kerendahan hati yang datang bersamanya, adalah hasil yang layak diperjuangkan. Sayangnya, semangat zaman yang terlalu fokus pada harga diri membuat refleksi semacam itu jarang terjadi. Bukan alasan untuk berhenti menulis puisi hanya karena sebagian besar puisi pelajar masih buruk, atau bahkan belum bisa disebut puisi. Jika puisi memiliki kekuatan menggugah yang tak tertandingi oleh bentuk sastra lain, tentu ini bukan keterampilan yang bisa dipelajari dengan mudah. Seperti kata Yeats:

Sebaris bait bisa memakan waktu berjam-jam,
Tapi bila tak terdengar seperti ilham sekejap,
Maka segala rajutan dan bongkaran kita sia-sia.
Lebih baik berlutut menyikat lantai dapur,
Atau memecah batu seperti pengemis tua,
Dalam cuaca apa pun;
Karena menyusun bunyi yang merdu
Lebih berat dari semua itu, namun tetap
Dianggap pemalas oleh para bankir, guru, dan pendeta
Yang disebut-sebut sebagai ‘dunia’.


Tafsir

Sedikit catatan soal tafsir. Relativisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tak ada yang benar atau salah—semua tergantung sudut pandang masing-masing. Jadi, siapa yang berhak bilang satu puisi lebih baik dari yang lain? Anak usia empat tahun bisa menyukai yang berbeda dari orang usia empat puluh. Tapi apakah berarti keduanya setara nilainya? Tidakkah semuanya cuma soal selera?

Tentu, ada benarnya. Tapi jika pandangan ini dipegang mentah-mentah, maka bisa menjadi konyol dan bahkan merusak. Kucing saya mungkin tidak menghargai puisi sama sekali, tapi bukan berarti saya tidak boleh berpendapat bahwa beberapa puisi lebih bermakna dari yang lain—dan berharap pendapat saya lebih serius dari diamnya si kucing. Segala sesuatu mungkin relatif, tapi jika kita tak bisa lagi sepakat bahwa permainan biola saya lebih buruk dari milik Perlman, bahwa puisi saya memalukan dibandingkan karya Larkin, atau bahwa kemampuan kritik saya jauh di bawah Northrop Frye, maka kita hidup dalam masyarakat yang kehilangan akal sehat. Hamlet memang berkata, “tidak ada yang baik atau buruk, hanya pikiran yang menjadikannya demikian”—dan justru itulah tugas kita: berpikir, agar kita bisa menentukan mana yang lebih bermutu.

Kita juga perlu belajar berpikir agar bisa menunjukkan bahwa beberapa tafsir lebih layak daripada yang lain. Puisi, secara alami, memang ambigu. Di situlah kekuatannya. Tapi mengatakan bahwa puisi bisa ditafsirkan dengan banyak cara tidak sama dengan menyatakan bahwa semua tafsir sah-sah saja dan tak boleh ada yang dibantah. Stopping by Woods on a Snowy Evening bisa saja dianggap puisi tentang Santa Claus, tapi kalau begitu, puisi itu gagal—karena maknanya akan terlalu dipaksakan dan hasilnya jadi remeh. Menafsirkannya sebagai ratapan atas dunia keindahan yang kini terabaikan oleh kesibukan kita pun masih terlalu dangkal—karena menunjukkan bahwa si pembaca belum membaca puisi Frost yang lain dan hanya memasukkan gagasannya sendiri, bukan yang benar-benar ada di puisi itu. Tafsir yang “tepat” adalah yang mampu menangkap sisi gelap dari puisi ini.

Membatasi tafsir dengan memperhatikan bahasa puisi bukan berarti kita terjebak dalam satu makna saja. Masih banyak ruang untuk perbedaan yang sungguh-sungguh dalam menafsirkan atau merasakan kekuatan puisi. Seperti yang dikatakan Emily Dickinson, setiap zaman membawa lensa baru untuk melihat kehidupan—begitu juga setiap pembaca datang dengan cara pandangnya sendiri. Tapi jangan sampai mereka membawa puisi buatan sendiri lalu mengklaim itu ditulis oleh Frost.